Kunjungi pula Situs Utama dan foto training Agung Webe

Agung Webe, penulis buku motivasi dan trainer pemberdayaan diri

Friday, April 5, 2013

Makna Sederhana di balik Mitos

Seorang ibu sedang memasak ikan dan diperhatikan anaknya yang masih kecil. Anak tersebut memperhatikan detail proses sang ibu memotong ikan sebelum ikan tersebut di goreng. Pertama sang Ibu memotong kepalanya, kemudian ekornya dan memasukkan badannya pertama kali ke penggorengan. Karena setiap kali memotong ikan sang Ibu terlihat melakukan sebuah ‘ritual’ yang sama, yaitu memotong kepalanya terlebih dahulu kemudian ekornya dan baru memasukkan badan ke penggorengan, maka si anak bertanya,
“Ibu bisa dijelaskan tidak makna dari pemotongan ikan tersebut?”
“Pemotongan yang mana?”
“Saya memperhatikan sebelum menggorang ikan ibu memotong kepalanya dahulu, kemudian ekornya, baru memasukkan badan ikan ke penggorengan.”
“Oh, itu. Hal itu ibu lakukan karena ibu melihat hal yang sama yang dilakukan oleh nenek.”

Jawaban tersebut bagi si anak tidaklah memuaskan. Dia tidak menemukan alasan mengapa harus kepala ikan dulu yang dipotong?
Akhirnya si anak memutuskan untuk mencari neneknya, karena menurut ibunya, ibu hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh nenek.
“Nek, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Mau tanya apa cucuku?”
“Mengapa nenek kalau mau menggorang ikan selalu memotong kepalanya, lalu ekornya, dan baru memasukkan badan ikan ke penggorengan?”
“Itu tradisi di keluarga kita cucu. Hal itu sudah dilakukan oleh buyut-buyut kita. Dan Nenek juga ibumu meneruskan tradisi tersebut.”
“Apakah saya boleh menggoreng ikan langsung tanpa memotongnya Nenek?”
“Sebaiknya kamu ikuti tradisi itu cucuku, karena apa yang dilakukan oleh buyut-buyut kita sudah barang tentu mempunyai makna yang bagus.”
“Apa maknanya nenek?”
“Nenek hanya percaya bahwa itu baik, dan itulah mengapa nenek melakukannya.”

Si anak tetap tidak puas atas jawaban neneknya. Mengapa di dalam keluarganya ikan yang mau digoreng harus dipotong kepalanya terlebih dahulu, kemudian ekornya, dan baru badannya dimasukkan ke penggorengan? Mengapa tidak digoreng secara utuh?
Bagaimana bila aku menggoreng ikan tidak dengan cara tradisi keluarga? Apa dampak dan akibatnya bagiku? Bagi keluargaku?

Suatu hari, si anak mengunjungi kerabat nenek yang masih menyimpan foto-foto kuno dari silsilah keluarga yang bisa dikomentasikan. Disana terlihat foto-foto buyutnya, rumah jaman dulu, dan juga dapur pada jaman itu.
Yang menjadi menarik adalah ada beberapa foto yang memperlihatkan sebuah kegiatan memasak dari buyutnya pada masa itu. Si anak memperhatikan detail kondisi dapur dan peralatan dapurnya.
Pada salah satu foto terlihat sebuah penggorengan dimana buyutnya sedang menggoreng ikan. Penggorengan tersebut berukuran kecil yang memang hanya dapat memuat badan ikan.
Aha! Akhirnya si anak mendapatkan pencerahan!
Ternyata buyut-buyutnya sebelum menggoreng ikan memotong kepala dan ekornya karena tempat penggorengannya berukuran kecil dan hanya memuat badan ikan saja.

Sepulang dari melihat foto dan mendapatkan alasan mengapa ikan harus dipotong kepalanya dan ekornya sebelum digoreng, si anak bicara dengan ibunya.
“Ibu, saya sudah tahu mengapa ikan di tradisi keluarga ini harus dipotong kepalanya dan ekornya terlebih dahulu sebelum  di goreng. Ibu, saat ini bila kita mempunyai penggorengan yang besar yang dapat memuat ikan tanpa dipotong, saya rasa kita dapat menggoreng ikan tanpa kita potong terlebih dahulu kepada dan ekornya.”
“Nak, Keluarga kita punya tradisi dan tradisi itu ibu teruskan dari nenek dan buyut kita. Akankah engkau akan merusaknya dan kita akan menerima akibat buruk apabila kita melanggar tradisi keluarga?”

Si anak terdiam. Pemikiran anak adalah penggambaran dunia modern yang mencoba mencari alasan dibalik sebuah tindakan. Pemikiran ibu adalah penggambaran dari dunia konvensional yang berjalan atas dasar kepercayaan yang sudah diyakini akan manfaat dan kebaikannya.
Kadang, ada hal yang memang harus dibiarkan untuk tidak dicari alasannya karena hal tersebut menyangkut sebuah keyakinan akan kedamaian dan ketentraman hidup.
Namun disisi lain, ada hal yang memang harus dicari alasan dibalik tindakan karena kita menyadari bahwa tindakan yang dilakukan tidak banyak memberikan manfaat terhadap kedamaian dan ketentraman hidup.

@agungwebe

2 comments:

Anonymous said...

Sewaktu di pendidikan ada aturan dan tradisi makan dg teman semeja @6 orang yg tdk pernah berobah pe pddkan berakhir,suatu ketika teman semeja yg asal dari Aceh menyilah kan kami untuk ambil lauk yg terdiri dr 2 ptg bgn kepala 2 ptg bgn perut 2 ptg bgn ekor dan dia sendiri akan ambil paling akhir
.Setelah ke 5 org ambil, ada yg dpt bgn kepala,ada yg dpt bgn paling diincar yaitu bgn perut ada pula yg dpt menerima bgian ekor.Terakhir sebelum dia ambil bgannya dia mengatakan:yg ambil kepala calon pemimpin harus berani didepan menerjang arus air, matanya harus jeli melihat dimana banyak makanan ,pandai2 menghirup udara lewat insangnya tapi ingat hati2 disitu juga banyak tulangnya shg jadi pemimpin banyak kesukarannya dan jangan mengaharapkan dapat daging yg empuk bisa2 malah tulangnya membuatmu kesedakan,yg ambil bgian perut memang enak banyak dagingnya tapi ingat diperut itu tempatnya kotoran ,jadi hati2 teliti benar jangan sampai tercampur kotoran langsung dimakan bisa2 termakan racun,pun pula kemana aja kepala perut bisanya ikut aja,yg terkhir bgn ekor dan memang dia kbgn ekor ,bgn ekor sedikit daging banyak duri siripnya klo tidak hati2 niscaya akan melukainya,tapi ingat bagian ekor adalah bagian kemudi dan kekuatan utk bergerak maju atau meliuk kekanan kekiri berbahagialah yg dpt bgn ekor krn memberikan kekuatan bgi berenangnya kepala yg sedang membawa perut tmsuk ekor itu sdri.Demikian sekilas yg masih teringat silahkan gali lagi filosofinya yg masih terpendam .







Printing said...

ya terkadang antara tradisi dan pencaraian ketenangan hati saling bertentangan