Kunjungi pula Situs Utama dan foto training Agung Webe

Agung Webe, penulis buku motivasi dan trainer pemberdayaan diri

Tuesday, August 21, 2012

Santet dan masalah Psikologis

Umurnya baru 35 tahun. Dia seorang ibu dengan dua orang anak. Begitu ketemu dengan saya, dia langsung tanya,
“Mas, saya sudah bersih belum?”
Sambil bercanda saya bilang, “Lho tadi udah mandi belum?”
“Ah mas saya serius. Saya udah bersih belum?”
Saya harus tahu apa yang dia maksud dengan bersih tersebut. Untuk itu saya memancingnya dengan ‘pertanyaan jebakan’. Kunci saya hanya pada kalimat ‘saya sudah bersih belum’. Ini artinya adalah bahwa dia sudah melakukan tindakan pembersihan dari sesuatu yang dianggapnya kotor.
Saya bilang, “Lho kok bisa?”
Dia terpancing juga. Akhirnya dia cerita.
“Kemaren saya bertemu dengan seseorang yang bilang bahwa saya ada yang ngikuti yaitu Jin yang berjumlah 3. Jin itu kiriman yang akan mencelakakan saya. Orang itu bilang bahwa saya kuat jadi Jin itu tidak bisa masuk dan hanya bisa membuat sakit parah. Orang itu lalu membersihkan saya dari pengaruh Jin tersebut. Saya kena santet mas katanya.”

Saya berpikir ulang, santet? Bagi saya ini menarik dan saya bermaksud membongkarnya!
Saya bertanya, “orang tersebut bilang bahwa kamu kena santet. Apakah kamu sudah tahu siapa orang yang menyantet kamu?”
Dia lalu mengeluarkan hp dan menunjukkan foto dari hp tersebut sambil bilang, “coba mas lihat foto ini. Jahat nggak orang ini? Orang itu bilang bahwa yang nyantet saya adalah orang dekat dan masih saudara jauh. Saya curiga sama orang ini mas, ini adalah istri dari adik suami saya.”
Saya melihat foto orang yang dia anggap sudah menyantetnya. Saya memilih untuk tidak menanggapi pertanyaannya dan saya ajukan pertanyaan lagi, “Kapan kamu merasa sakit yang disebabkan karena santet tersebut?”
“Tiga bulan yang lalu mas. Tiba-tiba saya nggak bisa jalan dan sesek nafas. Kemudian muntah-muntah tanpa sebab. Saya hampir mati karena sesek nafas dan pingsan. Kemudian tiba-tiba bibir saya jontor bengkak dan tiba-tiba semua baik dengan sendirinya.”
“Bagaimana hubunganmu dengan orang yang kamu anggap menyantet kamu itu?”
“Saya nggak nyangka mas, dia itu didepan saya baik banget dan sopan. Saya jadi tambah percaya bahwa dia yang nyantet saya yiatu ketika pembantu saya lewat depan rumahnya, dan dia tanya apakah ibu sudah sehat? Padahal saat itu nggak ada yang tahu kalo saya sakit itu lho mas. Darimana dia tahu kalau bukan dia yang membuat itu?”

Dari obrolan saya bersama ibu tersebut terlihat bahwa kesimpulannya dia terkena santet adalah karena hasil ‘penglihatan’ seseorang yang dipercaya ‘pintar’. Sakit yang tiba-tiba dialami ibu tersebut dihubungkan oleh orang yang melihatnya sebagai sebuah serangan santet. Ketika orang itu mengatakan bahwa yang menyerang bukan orang jauh dan masih ada hubungan kerabat, maka ibu itu mulai menganalisa siapa orang-orang dekatnya yang terlihat punya masalah. Kemudian ia mulai menetapkan ‘tersangka’ hanya atas dasar analisa ‘orang pintar’ sebagai kambing hitam atas penyakitnya yang belum diketahui sumbernya.
Dalam hal ini, saya sebagai seorang ‘mind recollectionist’ dari pengetahuan dunia pikiran yang saya pahami, penyakit yang diderita oleh ibu tersebut tidak akan terjadi apabila pikiran ibu tidak mengijinkan terjadi. Artinya ada ‘missing link’ yang harus saya temukan, mengapa pikiran ibu tersebut mengijinkan dirinya mengalami sakit?

Karena ibu tersebut mempunyai suami dan dua orang anak, maka kecurigaan pertama saya adalah pada hubungan antara dia dengan suaminya. Untuk menyelami lebih dalam tentang kecurigaan saya, maka saya kembali harus membuat ‘kalimat jebakan’.
“Saya kemaren punya kasus, “kata saya. “Seorang perempuan datang membawa foto pacarnya yang ia curigai berselingkuh. Setelah saya lihat ternyata memang benar bahwa pacarnya sedang berselingkuh.”
Saya bercerita sambil melihat mata dan mimik mukanya. Dari perubahan pupil mata dan gerakan arah bola mata serta perubahan mimik muka, saya melihat kegalauan hati. Artinya cerita saya tersebut sangat berpengaruh baginya. Ini langkah awal bagi saya untuk menemukan bahwa ia sedang bermasalah dengan suaminya.
Ia mengeluarkan foto suaminya dan bilang kepada saya, “mas coba lihat. Suami saya jujur nggak sama saya?”
Saya tidak melihat foto suaminya walaupun saya memperhatikan foto tersebut. Saya sedang menganalisa pertanyaannya, “suami saya jujur nggak sama saya?”
Dari pertanyaan tersebut saya harus merangkai berbagai puzzle dari pembicaraan saya dengannya. Pertanyaan tersebut menyiratkan bahwa ia sedang tidak percaya dengan suaminya. Kalau ia percaya pertanyaan semacam itu tidak akan muncul. Setidaknya ada tindakan suaminya yang membuatnya curiga.
Saya kembali harus memancingnya, “Ada rahasia yang disimpan suamimu.”
“Ya betul mas. Ini sudah terjadi sejak 4 tahun yang lalu,” akhirnya meledaklah gudang memori yang ia punya. “waktu itu ia mengaku sayang sama perempuan lain setelah saya tahu ia sering berkomunikasi dengannya. Ia bilang perempuan itu lebih dewasa dan lebih pintar dari saya. Saya  terpukul mas dan ada kebencian sampai sekarang yang tidak bisa saya lupakan walaupun saat itu suami saya sudah minta maaf.”
Berbagai cerita tentang suaminya dan bagaimana ia membangun kembali kepercayaan padanya tidak bisa saya tulis disini. Intinya ibu ini menjalani proses yang tidak mudah untuk membangun kembali rumah tangganya. Sampai kemudian kurang lebih setahun ini ia menemukan kembali suaminya terlihat sangat cuek dan ia rasakan menyimpan sesuatu.

Sampai pada tahap ini, saya telah menemukan puzzle kehidupan ibu tersebut yang menyebabkan ia mengalami sakit secara tiba-tiba. Ia mengalami trauma yang belum sembuh dan selalu mencemaskan dirinya. Ditambah kecurigaan pada tahun terakhir ini terhadap suaminya yang tidak membuatnya nyaman.  Hal-hal tersebut yang kemudian menciptakan kekuatan untuk menjadikan sakit,  yiatu sebuah akumulasi dari emosi terpendam.

Dalam kasus ini saya kemudian membantu ibu tersebut untuk melakukan ‘katarsis’, yaitu melepaskan emosi terpendam untuk kemudian mencapai upaya untuk berdamai dengan bagian-bagian diri.
Santet yang semula dipahami oleh ibu tersebut sebagai sebuah serangan dari orang lain, harus saya definisikan kembali menjadi sebuah ketidak berdayaan bagi pikiran sehingga merusak sel dirinya sendiri karena endapan emosi yang lebih besar dan tidak terbendung. Disini artinya adalah, marilah kita melakukan refleksi terhadap diri sendiri sebelum kita menyalahkan orang lain sebagai tersangka atas kambing hitam masalah yang kita punya.

Salam cerdas!



2 comments:

fredrik said...

penjelasan yg cermat dan teliti mas thx ...

Santet said...

Wah. Sangat menarik mas. Lengkap dan tidak sembarangan