Umurnya baru 35 tahun. Dia seorang ibu dengan dua orang
anak. Begitu ketemu dengan saya, dia langsung tanya,
“Mas, saya sudah bersih belum?”
Sambil bercanda saya bilang, “Lho tadi udah mandi belum?”
“Ah mas saya serius. Saya udah bersih belum?”
Saya harus tahu apa yang dia maksud dengan bersih tersebut.
Untuk itu saya memancingnya dengan ‘pertanyaan
jebakan’. Kunci saya hanya pada kalimat ‘saya sudah bersih belum’.
Ini artinya adalah bahwa dia sudah melakukan tindakan pembersihan dari sesuatu
yang dianggapnya kotor.
Saya bilang, “Lho kok bisa?”
Dia terpancing juga. Akhirnya dia cerita.
“Kemaren saya bertemu dengan seseorang yang bilang bahwa
saya ada yang ngikuti yaitu Jin yang berjumlah 3. Jin itu kiriman yang akan
mencelakakan saya. Orang itu bilang bahwa saya kuat jadi Jin itu tidak bisa
masuk dan hanya bisa membuat sakit parah. Orang itu lalu membersihkan saya dari
pengaruh Jin tersebut. Saya kena santet mas katanya.”
Saya berpikir ulang, santet? Bagi saya ini menarik dan saya
bermaksud membongkarnya!
Saya bertanya, “orang tersebut bilang bahwa kamu kena
santet. Apakah kamu sudah tahu siapa orang yang menyantet kamu?”
Dia lalu mengeluarkan hp dan menunjukkan foto dari hp
tersebut sambil bilang, “coba mas lihat foto ini. Jahat nggak orang ini? Orang
itu bilang bahwa yang nyantet saya adalah orang dekat dan masih saudara jauh.
Saya curiga sama orang ini mas, ini adalah istri dari adik suami saya.”
Saya melihat foto orang yang dia anggap sudah menyantetnya.
Saya memilih untuk tidak menanggapi pertanyaannya dan saya ajukan pertanyaan
lagi, “Kapan kamu merasa sakit yang disebabkan karena santet tersebut?”
“Tiga bulan yang lalu mas. Tiba-tiba saya nggak bisa jalan
dan sesek nafas. Kemudian muntah-muntah tanpa sebab. Saya hampir mati karena
sesek nafas dan pingsan. Kemudian tiba-tiba bibir saya jontor bengkak dan
tiba-tiba semua baik dengan sendirinya.”
“Bagaimana hubunganmu dengan orang yang kamu anggap
menyantet kamu itu?”
“Saya nggak nyangka mas, dia itu didepan saya baik banget dan
sopan. Saya jadi tambah percaya bahwa dia yang nyantet saya yiatu ketika
pembantu saya lewat depan rumahnya, dan dia tanya apakah ibu sudah sehat?
Padahal saat itu nggak ada yang tahu kalo saya sakit itu lho mas. Darimana dia
tahu kalau bukan dia yang membuat itu?”
Dari obrolan saya bersama ibu tersebut terlihat bahwa
kesimpulannya dia terkena santet adalah karena hasil ‘penglihatan’ seseorang
yang dipercaya ‘pintar’. Sakit yang tiba-tiba dialami ibu tersebut dihubungkan
oleh orang yang melihatnya sebagai sebuah serangan santet. Ketika orang itu
mengatakan bahwa yang menyerang bukan orang jauh dan masih ada hubungan
kerabat, maka ibu itu mulai menganalisa siapa orang-orang dekatnya yang
terlihat punya masalah. Kemudian ia mulai menetapkan ‘tersangka’ hanya atas
dasar analisa ‘orang pintar’ sebagai kambing hitam atas penyakitnya yang belum
diketahui sumbernya.
Dalam hal ini, saya sebagai seorang ‘mind recollectionist’ dari pengetahuan dunia pikiran yang saya
pahami, penyakit yang diderita oleh ibu tersebut tidak akan terjadi apabila
pikiran ibu tidak mengijinkan terjadi. Artinya ada ‘missing link’ yang harus
saya temukan, mengapa pikiran ibu tersebut mengijinkan dirinya mengalami sakit?
Karena ibu tersebut mempunyai suami dan dua orang anak, maka
kecurigaan pertama saya adalah pada hubungan antara dia dengan suaminya. Untuk menyelami
lebih dalam tentang kecurigaan saya, maka saya kembali harus membuat ‘kalimat
jebakan’.
“Saya kemaren punya kasus, “kata saya. “Seorang perempuan
datang membawa foto pacarnya yang ia curigai berselingkuh. Setelah saya lihat
ternyata memang benar bahwa pacarnya sedang berselingkuh.”
Saya bercerita sambil melihat mata dan mimik mukanya. Dari perubahan
pupil mata dan gerakan arah bola mata serta perubahan mimik muka, saya melihat
kegalauan hati. Artinya cerita saya tersebut sangat berpengaruh baginya. Ini langkah
awal bagi saya untuk menemukan bahwa ia sedang bermasalah dengan suaminya.
Ia mengeluarkan foto suaminya dan bilang kepada saya, “mas
coba lihat. Suami saya jujur nggak sama saya?”
Saya tidak melihat foto suaminya walaupun saya memperhatikan
foto tersebut. Saya sedang menganalisa pertanyaannya, “suami saya jujur nggak
sama saya?”
Dari pertanyaan tersebut saya harus merangkai berbagai
puzzle dari pembicaraan saya dengannya. Pertanyaan tersebut menyiratkan bahwa
ia sedang tidak percaya dengan suaminya. Kalau ia percaya pertanyaan semacam
itu tidak akan muncul. Setidaknya ada tindakan suaminya yang membuatnya curiga.
Saya kembali harus memancingnya, “Ada rahasia yang disimpan
suamimu.”
“Ya betul mas. Ini sudah terjadi sejak 4 tahun yang lalu,”
akhirnya meledaklah gudang memori yang ia punya. “waktu itu ia mengaku sayang
sama perempuan lain setelah saya tahu ia sering berkomunikasi dengannya. Ia bilang
perempuan itu lebih dewasa dan lebih pintar dari saya. Saya terpukul mas dan ada kebencian sampai sekarang
yang tidak bisa saya lupakan walaupun saat itu suami saya sudah minta maaf.”
Berbagai cerita tentang suaminya dan bagaimana ia membangun
kembali kepercayaan padanya tidak bisa saya tulis disini. Intinya ibu ini
menjalani proses yang tidak mudah untuk membangun kembali rumah tangganya. Sampai
kemudian kurang lebih setahun ini ia menemukan kembali suaminya terlihat sangat
cuek dan ia rasakan menyimpan sesuatu.
Sampai pada tahap ini, saya telah menemukan puzzle kehidupan
ibu tersebut yang menyebabkan ia mengalami sakit secara tiba-tiba. Ia mengalami
trauma yang belum sembuh dan selalu mencemaskan dirinya. Ditambah kecurigaan
pada tahun terakhir ini terhadap suaminya yang tidak membuatnya nyaman. Hal-hal tersebut yang kemudian menciptakan
kekuatan untuk menjadikan sakit, yiatu
sebuah akumulasi dari emosi terpendam.
Dalam kasus ini saya kemudian membantu ibu tersebut untuk
melakukan ‘katarsis’, yaitu melepaskan emosi terpendam untuk kemudian
mencapai upaya untuk berdamai dengan bagian-bagian diri.
Santet yang semula dipahami oleh ibu tersebut sebagai sebuah
serangan dari orang lain, harus saya definisikan kembali menjadi sebuah ketidak
berdayaan bagi pikiran sehingga merusak sel dirinya sendiri karena endapan
emosi yang lebih besar dan tidak terbendung. Disini artinya adalah, marilah
kita melakukan refleksi terhadap diri sendiri sebelum kita menyalahkan orang
lain sebagai tersangka atas kambing hitam masalah yang kita punya.
Salam cerdas!
2 comments:
penjelasan yg cermat dan teliti mas thx ...
Wah. Sangat menarik mas. Lengkap dan tidak sembarangan
Post a Comment