Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan menjadi malam yang
menarik karena diyakini akan hadirnya satu malam yang istimewa yang bernama
malam Lailatul Qadar. Karena keistimewaan malam ini maka setiap orang
berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Namun apakah yang dikatakan sepuluh malam tersebut adalah
benar-benar kondisi malam hari?
Memaknai Lailatul Qadar dari sekedar sesuatu yang jatuh dari
langit (dari luar diri) dan harus
kita nanti adalah sesuatu yang bagi saya harus didefinisikan ulang kembali. Artinya
apa? Artinya adalah bahwa tidak ada sesuatu yang jatuh dari atas sana.
Bila dalam satu malam seseorang di analogikan mendapatkan
seperti 1000 bulan, hal tersebut mempunyai maksud bahwa dalam satu malam itu ia
mengalami loncatan quantum dalam evolusi pikirannya sehingga ia
memahami pelajaran hidup yang seharusnya ia jalani dalam 1000 bulan atau 84
tahun!
Upaya-upaya untuk mendapatkan Lailatul Qadar salah satunya adalah
itikaf. Itikaf mempunyai arti
mengasingkan diri untuk sementara waktu dari kesibukan dunia. Namun benarkah
kita sudah mengasingkan diri? Mengasingkan diri dari apa? Kesibukan dunia yang
mana?
Kita sudah berdiam diri dan menganggap sudah mengasingkan
diri dari dunia, namun kita belum mengasingkan diri dari pikiran! Kita tetap
saja menyibukkan pikiran dengan ritual-ritual yang menjadikan pikiran semakin
bising.
Banyak yang protes ketika saya menulis bagian yang ini: Kita tetap
saja menyibukkan pikiran dengan ritual-ritual yang menjadikan pikiran semakin
bising. Artinya protes anda menandakan bahwa pikiran anda memang
benar-benar bising!
Lailatul Qadar bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia di
analogikan turun dari atas. Atas disini bukanlah langit, namun kesadaran tinggi
manusia yang berada di dalam diri manusia itu sendiri.
Bila anda sudah mengasingkan diri dari dunia, namun anda
tidak mengasingkan diri dari pikiran anda sendiri, maka akses kepada kesadaran
tinggi tetap tidak dapat dijangkau. Pikiran adalah hijab atau tirai yang
menghalangi kesadaran tinggi untuk singgah.
Lailatul Qodar atau malam seribu bulan, sudah ada di dalam
diri setiap manusia. Tinggal manusia itu sendiri, apakah ia dapat menyingkirkan
pikirannya untuk hadirnya sang Lailatul Qadar sehingga saat itu ia mengalami
evolusi pemikiran yang setara dengan pengetahuan selama 84 tahun, atau tetap
membiarkan pikiran bising sehingga ia tak mendapatkan apa-apa.
Saya lebih memaknai bahwa Lailatul Qadar adalah muncul dari
dalam diri, dari kesadaran tinggi, dan bukan sesuatu yang jatuh dari langit
yang kita nanti. Ia harus kita upayakan dengan cara menyingkirkan pikiran
bising kita.
Salam seribu bulan!
4 comments:
pertanyaannya bagaimana cara mengasingkan diri dari kebisingan pikiran?
apakah dengan meditasi?
sedangkan sholat dan syariat2 lain yang selama ini diajarkan Tuhan dan menjadi kebisingan pikiran adalah jalan yang Dia sediakan untuk kita mencapai derajat tertinggi, mi'raj...
Semua jalan bisa digunakan untuk menyibak kebisingan pikiran, termasuk sholat dan syariat lainnya.
apa yang keliru dalam sholat, sehingga pelakunya tetap kebisingan?
yang keliru adalah karena shalatnya tidak khusyu (tidak sadar Allah), untuk itu latihlah khusyu diluar shalat setelah cukup mahir shalat-lah (perlahan-lahan)nanti Anda akan tercengang sendiri
Post a Comment