Rejeki ataupun Kekayaan merupakan topic menarik sepanjang
jaman, bahkan semenjak sebelum Indonesia merdeka, pada saat buku Think & Grow Rich karya Napoleon
Hill di terbitkan pertama kali.
Tidak usangnya topic ini menjadikan buku yang bertema rejeki
menjadi sangat laris di pasaran karena tema Rejeki merupakan ‘trending
topic’ yang abadi sepanjang manusia masih diliputi oleh kebutuhan yang
disaingi oleh tingginya kenaikan harga pasar.
Bahkan hampir semua penerbit dan industry buku saat ini
sangat mau untuk menerima naskah yang bertema seputar rejeki dan mencari rejeki
dengan cepat.
Benarkah ilmu mempercepat rejeki itu benar-benar ada?
Pertanyaan ini hampir sama ketika pada tahun 2000-an marak
iklan paranormal yang menjual ‘jeng-lot’,
mereka yang mengaku dapat mengambil harta gaib, ataupun mereka yang bisa
mengambil benda-benda pusaka yang harganya milliaran.
Saat itu, kalau memang terdapat ratusan paranormal yang
mempunyai kemampuan sedemikian hebatnya, mengapa Indonesia tetap saja
terbelakang? Mengapa utang Indonesia tetap tak terbayarkan? Mengapa dalam
negosiasi dengan IMF tentang utang tidak disertakan ahli hypnosis yang dapat
mempengaruhi mereka agar hutang diputihkan?
Sekarang, bila masyarakat ditawari meraih penghasilan dengan
nilai milliaran dengan metode tertentu, dan mendapatkan rejeki berlimpah dengan
cara tertentu, siapa yang tidak tertarik? Ditengah himpitan hiruk pikuk
persaingan pekerjaan dan bisnis, tentu saja hal tersebut akan menjadi sebuah industry
tersendiri.
Ketika sebuah iklan dari seminar serupa yang diselenggarakan
mematok harga di atas lima ratus ribu rupiah, coba anda bayangkan, apakah
masyarakat petani yang terpojok, para penjual jasa ojeg, para pemulung, dan
para masyarakat miskin lainnya mampu mengikutinya?
Taruhlah bahwa metode tersebut memang ampuh dan diikuti oleh
mereka yang tadinya memang sudah kaya. Apa hasilnya? Tentu saja yang kaya akan
semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin!
Ironis, dan akan sampai kapan roda gila seperti ini akan berputar?
Kehidupan memang bisa diibaratkan seperti ‘membayar hutang’. Artinya ada
tindakan-tindakan terdahulu yang memang harus dibayar lunas, kemudian baru bisa
melakukan kredit kembali. Tidak ada utang yang tidak perlu dibayar, sebuah
hutang harus dibayar entah lama atau cepat. Bila apapun tindakan dari hasil
rencana yang kita terapkan menghasilkan sebuah reaksi, maka kita percaya bahwa
tindakan masa lalu merupakan hutang yang harus kita bayar lunas pada hari ini.
Artinya bagi saya, filosofi tentang ‘kita tidak bisa mempercepat apa
yang seharusnya lambat, dan kita tidak bisa memperlambat apa yang seharusnya
cepat’ adalah hal yang harus saya percayai. Kemudian bila ‘semua akan indah pada waktunya’,
artinya bahwa memang semua hal yang ada didunia mempunyai waktunya
sendiri-sendiri.
Lalu bila semua punya waktunya sendiri-sendiri, ada yang
berpendapat kita diam saja, toh kalau sudah waktunya kaya ya akan kaya! Kalau memang
dalam kurun waktu miskin mau bertindak apapun tetap miskin!
Memang semua ada waktunya dan kita tidak bisa memperlambat
atau mempercepat. Namun bila kita diam saja, sama saja kita sedang melunasi
hutang dan tidak menciptakan kredit baru yang lebih baik.
Yang bisa kita lakukan adalah memberi kesibukan kepada
pikiran sehingga dalam masa waktu menunggu hutangnya habis dan waktunya tiba,
ia akan bersorak, Hore aku berhasil!
Sekali lagi kita tidak bisa mempercepat waktu, namun
kita bisa membuat seolah-olah waktu itu menjadi cepat untuk datang.
Rejeki akan terlihat cepat datang bila kita membuat pikiran kita sibuk dan
seolah-olah waktunya memang cepat.
“Kita memang hanya akan menuai apa yang kita tanam” itu
adalah prinsip kuno dan diyakini sepanjang masa, hingga sekarang. Artinya bila
kita menginginkan rejeki, memang kita harus menanam rejeki, tidak ada cara
lain!
Dari lima ratus orang yang mempelari bahwa rejeki bisa
dipercepat, berapa orang yang kemudian berkata bahwa rejeki mereka akhirnya
cepat datang? Bisa dihitung dengan jari? Atau sepuluh persen?
Bila ya, maka kita lupa memperhatikan factor bahwa
mungkin sekali hutang-hutang kehidupan mereka memang akan selesai lebih cepat
dari 400 orang lainnya.
Atau bisa juga dilakukan sebuah langkah spektakuler seperti
ini: Pilihlah sebuah desa yang masyarakatnya digaris kemiskinan. Kemudian dilakuan
coaching tentang mempercepat rejeki kepada masyarakat desa tersebut. Dalam berapa
bulankah mereka bisa berubah menjadi masyarakat dengan pendapatan di atas
rata-rata?
Siapa yang berani?
Dari sisi lain, maraknya ‘trending topic’ tentang
rejeki dan percepatannya tentu akan menumbuhkan motivasi kerja dan semangat
baru. Dan itu tidak dipungkiri. Banyak orang yang giat kembali melakuan usaha
yang hampir terpuruk, banyak yang terinspirasi kemudian tidak putus asa dengan
tindakan yang sudah berulang kali gagal, walaupun ia kembali gagal setelah itu.
Namun pemahaman bahwa waktu bisa dipercepat, termasuk
rejeki, ini yang harus di definisikan ulang kembali agar lebih banyak
masyarakat menjadi cerdas dan bisa melangkah dengan bijaksana.
Artinya, waktu memang tidak bisa dipercepat termasuk
rejeki. Namun kita bisa membuat sibuk pikirian sehingga seolah-olah ia menjadi
sangat cepat untuk datang. Untuk membuat sesuatu yang baru di kehidupan
(memetik hasilnya) adalah tergantung
dari apa yang telah kita tanam sebelumnya. Bila kita menanam hutang yang tidak
baik, maka kita harus menyelesaikan hutang kita sampai lunas terlebih dahulu.
Daripada anda tidak berbuat apa-apa, memang lebih baik
membuat sibuk pikiran anda sehingga anda memanipulasinya dan seolah-olah anda
menganggap bahwa rejeki itu cepat datang kepada anda.
Mau tidak mau, hutang yang telah anda tanam harus anda lunasi
sampai selunas-lunasnya. Dan sambil melunasi hutang tersebut, maka kita buat
vibrasi positive, selalu penuhi diri dengan emosi-emosi positive yang merupakan
tanaman baru yang akan kita petik nanti pada waktunya tiba.
Jadi, apakah waktu dari rejeki bisa kita percepat? Sebaiknya anda
baca ulang artikel saya ini!
Agung Webe
No comments:
Post a Comment