Kontroversi
tentang gagal manggungnya di Indonesia beberapa minggu ini memang menjadi
berita hangat, apalagi ada sebuah alasan yang di lontarkan yaitu bahwa Lady
Gaga merupakan seorang pemujua Setan!
Stefani
Joanne Angelina Germanotta (lahir di New
York City, New York, Amerika Serikat, Amerika Serikat, 28 Maret 1986),
lebih dikenal dengan nama panggungnya Lady
Gaga.
Artikel
ini tentu saja akan mengulas Lady Gaga dari sisi pemberdayaan diri yang
berkaitan dengan marketing, proses kreatif, dan keputusan penting dalam memilih ‘branding’
oleh seorang Lady Gaga.
Bagi
saya sebuah seni (apapun itu) tidak
terkait dengan benar dan salah. Seni adalah sebuah eksplorasi yang tidak bisa
diukur dengan angka pasti. Oleh sebab itu dalam seni yang ada hanyalah suka
dan tidak suka. Kontroversi yang terjadi baru-baru ini dari kacamata
seni hanyalah masalah diatas, yaitu suka dan tidak suka.
Apa
kaitannya dengan pemuja setan?
Mari
sejenak kita lihat apa yang dilakukan oleh Lady Gaga dalam hal memilih bentuk
music dan tampilannya di atas panggung.
Lady
Gaga belajar bermain piano dari umur 4 tahun, dan menulis lagu pianonya sendiri
pada umur 13 tahun, kemudian tampil pertama open mic pada usia 14 tahun.
Artinya ia mengawali hasrat bermusik sudah jauh hari pada awal perkembangan
dirinya. Keinginannya dari kecil untuk eksis telah membuat Lady Gaga terus
mencari bentuk untuk warna musiknya.
Saat
music pop dipopulerkan oleh Madona, Britney Sprears, Beyonce,
maka Lady Gaga harus muncul bukan seperti mereka. Ia merenung lama untuk
memutuskan sesuatu yang menjadi controversial seperti sekarang ini. Tentu saja
pemikiran itu bukanlah pemikiran pribadi namun merupakan kerja tim kreatif.
Branding
yang diusung oleh tim kreatif Lady Gaga memang hal yang sangat riskan yang
menyebabkan dia dimasukkan dalam isu illuminatist dan penganut pemuja
setan. Bahkan kematian Michel Jackson dan Whitney Houston juga dikabarkan
merupakan scenario yang dibuat oleh para illuminatis dikarenakan sebab
tertentu. Namun saya tidak membahas hal tersebut.
Keputusan
untuk
branding dari jenis music, penampilan, dan aksi panggung yang menentang
arus inilah yang membuat dia menjadi sering dibicarakan. Kemudian dia berhasil
membuat positioning yang kuat dengan aksi panggungnya tersebut. Tim
kreatif penampilan Lady Gaga berhasil melihat ‘peluang’ dari keresahan
remaja yang ada tentang tatanan agama dan norma masyarakat. Seakan-akan dalam
setiap tata panggung dan aksinya, Lady Gaga menawarkan sebuah cerita pelepas
dahaga.
Mengapa
seorang Stefani Joanne Angelina
Germanotta menerima ide dari tim kreatif yang membuat dirinya tampil
seperti ini? Tentu saja banyak sebabnya, salah satunya adalah ambisi menjadi
bintang pop di belantara music dunia, dan dia menerima tawaran untuk menjadi ‘Mother
Monster’, yaitu merek yang disematkan pada dirinya. Dan itu setidaknya
membalas akan masa lalunya ketika ia dilecehkan dan tidak dilirik oleh banyak
orang karena kondisi wajah yang tidak cantik.
Dalam
dunia Seni dan Marketing, lirik
lagu – aksi panggung – performa baju adalah sebuah hasil kerjasama dan
pemikiran keras dari tim kreatif, bukan hasil seorang diri dari sang penyanyi.
Dari sisi Lady Gaga, sang tim kreatif dari managementnya memang akan
menampilkan sosok controversial dalam aksi panggung musiknya.
Dari
sisi keberhasilan Branding dan Positioning Market, maka secara
keseluruhan Lady Gaga adalah tim yang sukses membawa sebuah ciri tersendiri
sehingga laris manis di pasaran. Larisnya music-musik Lady Gaga bukan karena ia
penganut setan, namun karena ia mau menerima tawaran untuk mem-branding dirinya menjadi
berbeda dari pasar yang pernah ada.
Sayangnya
memang, bahwa Branding yang diusung
dan Positioning yang ia tempati tidak
mudah diterima oleh kalangan fanatic agama. Artinya memang bila para remaja
yang belum mempunyai nalar berpikir dan bijaksana, ia akan seperti diberi angin
untuk menjadi bebas. Bebas bukan seperti Lady Gaga, namun bebas seperti
persepsinya sendiri terhadap kebebasan yang selama ini didambakan.
Music
dan lirik yang dinyanyikan Lady Gaga, aksi panggung dan busana yang ia kenakan, memang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pemuja setan. Semua adalah hasil dari proses kreatif dan
branding yang diusung dengan konsekuensi tertentu. Tentu saja kita ingat pada
waktu munculnya group music Black Sabbath yang hampir mirip aksi panggung
kontroversialnya pada jaman itu, dengan kostum yang dipersepsikan sebagai
setan.
Tentu
saja ini adalah pilihan ketika kita memutuskan untuk membuat personal branding
dan menempatkan
posisi kita di area keahlian kita. Melihat kesuksesan Lady Gaga dalam
branding & positioning, kita dalam menggali keahlian kita juga dapat
mengambil jalur controversial. Dan itu sah-sah saja dalam marketing. Dengan
syarat bahwa kita akan menanggung semua konsekuensi ataupun tuduhan-tuduhan
yang tidak dilakukan dan hanya Karena persepsi yang berkembang. Setidaknya itulah
merek yang secara sadar kita ambil dan kita sematkan pada diri kita.
Sangat
kerdil sekali ketika kita berpendapat bahwa kesuksesan Lady Gaga adalah bantuan
dari setan. Masanya terkumpul sekian banyak, bahkan follower twitter sang Mother
Monster ini melebihi follower dari Barack Obama, Presiden Amerika Serikat. Banyaknya
masa yang mengikuti lagu-lagu Ladi Gaga ini juga dituduh sebagai bantuan sang
Setan!
Bila pendapat
diatas yang kita yakini, artinya ada sebuah kekuatan yang bisa mengalahkan
kekuatan Tuhan dan telah menempatkan bahwa Tuhan punya tandingan di alam
semesta ini.
Sekali
lagi, bahwa kesuksesan Lady Gaga adalah kesuksesan tim dan hasil yang ia tampilkan
baik dari lirik lagu, arransemen music, gaya panggung, perfoma baju, adalah
sebuah identitas yang disematkan untuk alasan marketing.
“Seni adalah sebuah ruang yang tidak bisa dinilai dengan
angka-angka, ataupun dengan Benar
dan Salah. Untuk itu, dalam seni
hanya ada dua kata yang mengikuti yaitu suka
atau tidak suka”
Agung
Webe
No comments:
Post a Comment