Siang tadi, beberapa tag
berita mampir di facebook saya, dengan berita yang sama, yaitu pemukulan
Pramugari oleh seorang pejabat daerah yang diduga sang Pejabat tersinggung saat
diperingatkan untuk mematikan handphonenya ketika pesawat akan tinggal landas.
Setelah saya browsing di kompas.com, maka disana ditulis
jelas bahwa nama pejabat terebut adalah Zakaria Umarhadi yang menjabat Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Daerah Provinsi Bangka Belitung.
Dalam hal ini, pembelaan sementara dari Zakaria Umarhadi
mengatakan bahwa Pramugari memperlakukannya dengan tidak sopan dan pada saat
terakhir akan turun Zakaria kembali memperingatkan namun disambut tidak ramah
oleh pramugari.
Dari sisi Forensic,
kejadian tersebut memang harus ditinjau ulang dari beberapa segi dan rentetan
kejadian yang ada. Namun yang menjadikan peristiwa ini sangat memalukan dengan
apapun alasan yang ada adalah, seorang pejabat telah melakukan pemukulan!
Apapun alasan yang dikemukakan oleh Zakaria, tidak
sepantasnya dirinya melakukan pemukulan atas nama apapun juga.
Dari sini, walaupun hal ini tidak dapat dijadikan barometer,
namun setidaknya kita dapat bertanya, inikah wajah dan attitude pejabat di
Indonesia? Pejabat yang gampang
tersinggung? Pejabat yang gampang emosi? Pejabat yang gampang mencari kambing
hitam? Pejabat yang ringan tangan untuk memukul?
Coba bayangkan apabila pejabat dengan attitude seperti ini
memegang pucuk kendali sebuah instansi penting kenegaraan? Sudah berapa banyak
musuh kenegaraan yang tercipta hanya karena emosi yang tidak tertahan seperti
ini?
Satu hal lagi yang membuat saya miris adalah alasan Zakaria
di kompas.com yang tertulis bahwa, “Penumpang
adalah raja dan tidak semestinya diperlakukan demikian”
Saya pribadi jadi bertanya, apa arti penumpang adalah raja
bagi Zakaria? Apakah dengan kata ‘raja’ maka ia berkuasa untuk dapat melakukan
apa saja, bebas bertindak tanpa aturan, dan dapat menghukum siapa saja dengan
kuasa raja?
Beberapa kasus yang sempat saya ketahui dari para pejabat
yang berada di atas pesawat, (sekali lagi
bahwa ini bukanlah generalisasi dan tidak semua pejabat demikian adanya), para
pejabat yang tidak mempunyai attitude bagus seringkali mengabaikan
perintah pramugari. Bahkan sebagaian besar tidak mengganggap keberadaan
pramugari. Bagi mereka yang tidak menganggap keberadaan pramugari di atas
pesawat karena ‘mind set’ mereka
mengatakan bahwa pramugari hanyalah penyaji makan dan minum. Padahal keberadaan
pramugari yang utama di atas pesawat adalah
sebagai sorang safety trainer.
Kembali kepada
cerminan pejabat di Negara kita.
Tidak hanya attitude
terhadap respon atas tindakan orang lain, namun juga sikap terhadap uang dan
kekayaan, pandangan terhadap ‘seks’ dan perselingkuhan. Dimana hal tersebut sudah
kita saksikan buktinya lewat media yang berhasil menguak itu semua.
Penguasaan atas emosi pribadi, dan respon dengan pikiran
jernih atas apapun kejadian yang dialami tentu saja menjadi pelajaran penting
bagi Zakaria ke depan. Kekecewaan bukanlah dilampiaskan dengan ‘tonjokan’ atau
sentuhan kasar tangan terhadap orang lain. Bagi jiwa mulia, apalagi sebagai
bangsa Nusantara yang mengedepankan sopan santun dan ‘tepa slira’, maka ungkapan kekecewaan atau kekesalan dapat
dilakukan dengan lebih ‘ksatria’ dan lebih cerdas!
Apalagi apabila seorang Pramugari memang tidak berlaku sopan,
atau memang benar meremehkan penumpangnya, maka penumpang akan dengan gampang
menulis kertas ‘complain’ dengan
bukti yang ada untuk segera dilayangkan kepada management perusahaan tersebut.
Respon Zakaria, sekali lagi merupakan cermin yang berkali-kali
disodorkan oleh alam semesta kepada manusia Indonesia umumnya, ‘dimanakah
attitude timur yang menjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan rasa welas asih?’
Apakah manusia Indonesia terutama mereka yang duduk di
tampuk jabatan pemerintahan sudah jauh dari rasa welas asih ini? Apa yang
mereka pikirkan? Apakah mereka hanya memikirkan kekayaan pribadi, keuntungan
pribadi?
Kata Ronggo Warsito, “sak
bejo-bejone manungso, iyokuwi sing tansah eling lan waspodo” – manusia yang
beruntung adalah manusia yang selalu sadar dan selalu waspada.
Bila kita masih memegang prinsip welas asih, maka kita tidak
akan takut untuk tidak ‘kebagian jatah’ apabila kita tidak
ikut menjadi gila tindakan. Dengan prinsip welas asih maka kita selalu sadar
dan waspada sehingga kita akan menjadi manusia yang beruntung dan bahagia.
No comments:
Post a Comment