Jayengraga segera masuk ke dalam kamar karena ia tahu bahwa Elizabeth
sudah menunggunya di dalam. Baginya pertemuan dua tradisi, antara timur dan
barat sudah dibayangkan akan menghasilkan sebuah ‘perang’ yang dahsyat!
Elizabeth yang biasa dipanggil oleh Jayengraga dengan
panggilan iyet, memang wanita cantik, seksi, dan bule!
Begitu pintu dibuka, Jayengraga sudah melihat Iyet dengan
posisi duduk di sofa kamar sambil menyilangkan kakinya, sehingga semua sisi
kaki dari betis ke paha terlihat sangat jelas. Seketika itu juga nafas
Jayengraga menjadi sedikit lebih cepat dari semula. Jayengraga berhenti dan
menatap Iyet.
“Mengapa diam?”
“Aku ingin menatapmu”
“Kamu tidak akan bisa puas hanya dengan menatap”
Iyet bangun dari duduknya dan memperlihatkan kepolosan dari
sebuah gambar tanpa warna yang dicoretkan sangat indah oleh Tuhan. Apabila itu
air, sungguh merupakan mata air yang tidak ada riaknya. Apabila itu adalah
awan, itu adalah awan yang sangat putih tanpa mendung yang menutupi bagiannya.
Perpaduan warna Tuhan itu sungguh sempurna yang
menjadikannya sangat menarik untuk dinikmati.
Iyet sudah mendengar perubahan nafas pada Jayengraga, yang
tak salah lagi bahwa saat itu pastilah Jayengraga ingin melukis keindahan pada
kanvas yang sudah ia sediakan untuknya.
“Lukislah. Lukislah sesukamu. Aku bawakan kanvas untukmu,”
kata Iyet
“Aku akan mulai dengan warna yang kusuka”
“Warna apa yang kau suka?”
“Hitam”
“Dari mana warna hitam itu akan kau lukiskan?”
“Dari bawah kanvas”
Jayengraga mulai melukis dengan warnanya. Ia mencoretkan
warna itu dari bawah. Seperti ujung kaki yang selalu dibasuh, atau seperti
betis yang bercahaya bagi Ken Arok, warna-warna Jayengraga memenuhi semua
rongga kanvas dengan indahnya. Jayengraga memang sangat hati-hati melukiskan
warnanya, karena baginya melukis bukan soal gambar, namun soal bagaimana
menyentuhkan kuas ke kanvas!
Iyet mulai membalikkan badannya dan memperlihatkan
punggungnya. Kali ini Jayengraga harus mengambil warna yang lain untuk
menjadikan lukisannya berwarna. Disapunya seluruh pinggir kanvas dengan warna
kuning, tanpa tersisa sedikitpun.
Tatapan Jayengara semakin dalam, menghunjam Iyet dengan
kepastian bahwa ia akan mengajaknya naik ke atas bersama-sama. Kadangkala Iyet
tak kuat dan harus mencengkeram Jayengraga erat-erat agar tak jatuh, namun
kadangkala Jayengraga juga harus memegang Iyet kuat-kuat untuk menahannya agar
ia sendiri tak jatuh.
Bagi para pendaki, pencapain puncak bukan segalanya, namun
menikmati perjalanan untuk sampai ke puncak itulah yang merupakan kenikmatan
atas sebuah seni pendakian yang tak banyak dipahami. Dan Jayengraga memahami
hal ini.
Berkali-kali Iyet berkata, “Lakukan sekarang”
Namun Jayengraga bilang, “Bukan itu intinya, kita bukan
hewan”
Bila itu adalah irama, iramanya menjadi lagu yang indah
hanya karena tautan dua nafas yang sangat dekat. Nafas yang sangat terdengar
kerena dihembuskan sangat dekat dengan telinga dan kadangkala meniup bagian
kulit yang sangat terasa. Bahkan cengekeraman-cengkeraman yang tidak terkendali
menjadi sebuah pertanda tersendiri bahwa sebentar lagi ia akan sampai.
Seperti daun hijau yang terbawa angin dan jatuh di sungai,
juga seperti udara yang menggesek batu cadas yang keras, dorongan-dorongan dari
kayu yang berkali-kali masuk ke lubang dari pohon yang ada, membuat semua dahan
menjerit keras. Menjerit bukan karena sakit, menjerit bukan karena sedih, namun
menjerit untuk jangan berhenti saat ini.
Kali ini Jayengraga benar-benar mendaki dengan seluruh peluh
keringatnya. Ia sudah menuntaskan pekerjaan awal dalam melukis warna pada
kanvas yang disediakan oleh Iyet. Ada ledakan yang harus ia pertahankan dan ia
simpan untuk nanti.
Keindahan itu menjadi semakin nyata bersama pelukan erat
yang menandakan bahwa mereka telah sampai di puncak!
No comments:
Post a Comment