Kunjungi pula Situs Utama dan foto training Agung Webe

Agung Webe, penulis buku motivasi dan trainer pemberdayaan diri

Friday, August 3, 2012

EPISODE TEMBANGRARAS

Jayengraga segera masuk ke dalam kamar karena ia tahu bahwa Elizabeth sudah menunggunya di dalam. Baginya pertemuan dua tradisi, antara timur dan barat sudah dibayangkan akan menghasilkan sebuah ‘perang’ yang dahsyat!
Elizabeth yang biasa dipanggil oleh Jayengraga dengan panggilan iyet, memang wanita cantik, seksi, dan bule!
Begitu pintu dibuka, Jayengraga sudah melihat Iyet dengan posisi duduk di sofa kamar sambil menyilangkan kakinya, sehingga semua sisi kaki dari betis ke paha terlihat sangat jelas. Seketika itu juga nafas Jayengraga menjadi sedikit lebih cepat dari semula. Jayengraga berhenti dan menatap Iyet.
“Mengapa diam?”
“Aku ingin menatapmu”
“Kamu tidak akan bisa puas hanya dengan menatap”

Iyet bangun dari duduknya dan memperlihatkan kepolosan dari sebuah gambar tanpa warna yang dicoretkan sangat indah oleh Tuhan. Apabila itu air, sungguh merupakan mata air yang tidak ada riaknya. Apabila itu adalah awan, itu adalah awan yang sangat putih tanpa mendung yang menutupi bagiannya.
Perpaduan warna Tuhan itu sungguh sempurna yang menjadikannya sangat menarik untuk dinikmati.

Iyet sudah mendengar perubahan nafas pada Jayengraga, yang tak salah lagi bahwa saat itu pastilah Jayengraga ingin melukis keindahan pada kanvas yang sudah ia sediakan untuknya.
“Lukislah. Lukislah sesukamu. Aku bawakan kanvas untukmu,” kata Iyet
“Aku akan mulai dengan warna yang kusuka”
“Warna apa yang kau suka?”
“Hitam”
“Dari mana warna hitam itu akan kau lukiskan?”
“Dari bawah kanvas”

Jayengraga mulai melukis dengan warnanya. Ia mencoretkan warna itu dari bawah. Seperti ujung kaki yang selalu dibasuh, atau seperti betis yang bercahaya bagi Ken Arok, warna-warna Jayengraga memenuhi semua rongga kanvas dengan indahnya. Jayengraga memang sangat hati-hati melukiskan warnanya, karena baginya melukis bukan soal gambar, namun soal bagaimana menyentuhkan kuas ke kanvas!

Iyet mulai membalikkan badannya dan memperlihatkan punggungnya. Kali ini Jayengraga harus mengambil warna yang lain untuk menjadikan lukisannya berwarna. Disapunya seluruh pinggir kanvas dengan warna kuning, tanpa tersisa sedikitpun.
Tatapan Jayengara semakin dalam, menghunjam Iyet dengan kepastian bahwa ia akan mengajaknya naik ke atas bersama-sama. Kadangkala Iyet tak kuat dan harus mencengkeram Jayengraga erat-erat agar tak jatuh, namun kadangkala Jayengraga juga harus memegang Iyet kuat-kuat untuk menahannya agar ia sendiri tak jatuh.

Bagi para pendaki, pencapain puncak bukan segalanya, namun menikmati perjalanan untuk sampai ke puncak itulah yang merupakan kenikmatan atas sebuah seni pendakian yang tak banyak dipahami. Dan Jayengraga memahami hal ini.
Berkali-kali Iyet berkata, “Lakukan sekarang”
Namun Jayengraga bilang, “Bukan itu intinya, kita bukan hewan”

Bila itu adalah irama, iramanya menjadi lagu yang indah hanya karena tautan dua nafas yang sangat dekat. Nafas yang sangat terdengar kerena dihembuskan sangat dekat dengan telinga dan kadangkala meniup bagian kulit yang sangat terasa. Bahkan cengekeraman-cengkeraman yang tidak terkendali menjadi sebuah pertanda tersendiri bahwa sebentar lagi ia akan sampai.

Seperti daun hijau yang terbawa angin dan jatuh di sungai, juga seperti udara yang menggesek batu cadas yang keras, dorongan-dorongan dari kayu yang berkali-kali masuk ke lubang dari pohon yang ada, membuat semua dahan menjerit keras. Menjerit bukan karena sakit, menjerit bukan karena sedih, namun menjerit untuk jangan berhenti saat ini.

Kali ini Jayengraga benar-benar mendaki dengan seluruh peluh keringatnya. Ia sudah menuntaskan pekerjaan awal dalam melukis warna pada kanvas yang disediakan oleh Iyet. Ada ledakan yang harus ia pertahankan dan ia simpan untuk nanti.
Keindahan itu menjadi semakin nyata bersama pelukan erat yang menandakan bahwa mereka telah sampai di puncak!


No comments: