Indonesia yang kaya akan
budaya, terdiri dari berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai bahasa
sendiri-sendiri. Bahasa di tanah Jawa saja sudah bermacam-macam. Belum
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya.
Memahami bahasa akan
memahami manusia dalam budaya tersebut sehingga dengan memahami bahasa
seseorang akan dapat memahami kehidupan itu sendiri.
Namun ada satu bahasa
yang sampai saat ini sangat sulit saya pahami, yaitu bahasa Klakson.
Berapa kalikah anda
mendengarkan klakson di jalan setiap harinya?
Saya pernah melakukan
perjalanan dari Amsterdam menuju Luxembourg dengan jalan darat. Dan perjalanan
selama 5 jam itu saya tidak mendengarkan klakson sama sekali! Apakah bahasa
klakson disana tidak dimengerti?
Kemudian saya
membandingkan perjalanan saya dari rumah menuju ke pintu tol yang jaraknya
hanya 3 km. Apa yang terjadi? Dengan jarak hanya 3 km saya bisa mendengarkan
bunyi klakson lebih dari sepuluh kali.
Bila di jalan raya di
negeri ini begitu banyak bunyi klakson, sebenarnya apa yang ingin mereka
sampaikan?
Pada waktu saya
mengunjungi pasar barang bekas mobil di Tokyo Jepang, penunggu pasar tersebut
dapat berbicara bahasa Indonesia. Pada saat ia menawarkan barang-barang bekas
dari mobil yang akan didaur ulang, penunggu yang bisa berbahasa Indonesia
tersebut bilang, “Klakson masih bagus,
jarang dipakai”
Tadinya saya tidak ‘ngeh’ dengan apa yang dikatakannya,
namun setelah saya tahu bahwa penunggu itu pernah lama di Jakarta, baru saya ‘ngeh’
bahwa dia sedang membandingkan mobil di Jakarta dengan mobil di Jepang. Ya,
mobil di Jakarta klaksonnya sering dipakai, sedangkan mobil di Jepang memang
jarang dipakai.
Kembali kepada orang yang
sering membunyikan klaksonnya.
Kalau saya, klakson akan
saya bunyikan untuk memberikan peringatan yang penting. Seperti mobil didepan
saya terlihat sedikit oleng yang mungkin sopirnya ngantuk.
Nah ini, saya sering
melihat ada mobil yang antri dan dia membunyikan klakson untuk mobil depannya sebagai
isyarat agar cepat jalan, padahal mobil depannya juga terjebak macet antrian
dari deretan mobil depannya lagi.
Akhirnya bahasa klakson
saya pahami sebagai bahasa emosional.
Begitu banyak manusia
yang emosinya tinggi, tidak stabil, gelisah dan cemas dalam hidupnya. Budaya
antri ingin diterabas seolah-olah dirinya sendiri yang mempunyai kepentingan
mendesak.
Coba kita lihat di lampu
merah perempatan jalan. Ada tiga lampu yaitu merah, kuning, dan hijau. Kita semua
tahu bahwa merah adalah berhenti. Kemudian kuning bersiap-siap dan hijau jalan.
Namun apa yang terjadi? Lampu baru menyala kuning dan akan berganti hijau,
namun klakson dari mobil-mobil di deretan belakang sudah berbunyi. Saya rasa
deretan mobil paling depan juga tahu bahwa hijau adalah jalan.
Apakah bahasa klakson
perlu dimasukkan ke dalam mata pelajaran bahasa di sekolah dasar? Sehingga manusia
yang menggunakan klakson tahu kapan, fungsi, dan kegunaan dari klakson?
Salam Tut Tut!
No comments:
Post a Comment